B.J. Habibie – Presiden Indonesia Ketiga yang Kharismatik & Cerdas
Di antara Anda mungkin tidak ada yang tidak mengenal sosok kharismatik yang satu ini. Ya, B.J Habibie yang memiliki nama lengkap Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie ini merupakan salah satu mantan Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek yaitu 2 bulan 7 hari sebagai Wakil Presiden, dan 1 tahun 5 bulan sebagai Presiden. Namanya pun kini disematkan pada sebuah universitas di Gorontalo menggantikan nama Universitas Negeri Gorontalo.
B.J. Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan tanggal 25 Juni 1936, ia merupakan anak keempat dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya merupakan seorang ahli pertanian dari etnis Gorontalo yang berketurunan Bugis, sedangkan ibunya beretnis Jawa. R.A. Tuti Marini Pupowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogya. Habibie menikah dengan Hasri Ainun pada tanggal 12 Mei 1962 dan dikarunia dua orang putera yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.
Habibie sempat menuntut ilmu di SMAK Dago dan kuliah di teknik mesin Universitas Bandung yang kini bernama Institut Teknologi bandung pada tahun 1954. Lalu ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang di RWT Aachen, Jerman barat pada tahun 1955-1965. Ia menerima gelar “diplom ingenieur” pada tahun 1960 serta gelar “doktor ingenieur” pada tahun 1965 dengan predikat summa cum laude.
Habibie pernah bekerja di sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman yaitu Messerschmitt-Bölkow-Blohm. Pada tahun 1973, ia kembali ke Indonesia atas permintaan Soeharto lalu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (1978-1998). Sebelum menjabat sebagai Presiden (1998-1999), Habibie merupakan Wakil Presidenadlam Kabinet Pembangunan VII di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ia juga diangkat sebagai ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada masa jabatannya sebagai menteri.
Pada masa pemerintahannya yang singkat sebagai Presiden Indonesia, banyak timbul berbagai macam kontroversi di masyarakat. Pihak yang Pro menganggap pengangkatannya sebagai Presiden sudah konstitusional, sedangkan pihak yang kontra menganggapnya sebaliknya. Namun di balik itu semua, Habibie berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan kisaran Rp10.000-Rp15.000. namun di akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah menjadi meroket naik pada level Rp6500 per dollar AS yang tidak akan pernah dicapai lagi pada era pemerintahan selanjutnya. Habibie juga pernah menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia. Peristiwa lepasnya Timor Leste dari NKRI serta ditolaknya laporan pertangung jawabannya oleh MPR membuat Habibie tidak lagi berkeinginan untuk mencalonkan dirinya kembali menjadi presiden.
Setelah ia turun dari jabatannya sebagai presiden, ia lebih banyak tinggal di Jerman daripada di Indonesia. Tetapi ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai penasihat presiden untuk mengawal proses demokratisasi di Indonesia lewat organisasi yang didirikannya Habibie Center. Banyak karya yang diciptakannya, seperti buku-buku tentang pesawat terbang serta salah satu buku fenomenal yang sempat difilmkan di tanah air, yaitu buku yang berjudul “Habibie dan Ainun”. Buku yang menceritakan kisah hidup yang penuh cinta antara Habibie dan isterinya, Ainun yang diketahui mengidap kanker.